Wednesday 3 February 2016

aku datang pagi dengan satu hal, bisa mendengar bunyi dari rel-rel keretapi dan berharap keluhan aku di bawa pergi sekali. tapi setelah tergelincir dari landasan ia menjadi sunyi, aku sering datang lewat dan angka merah itu aku beranikan seperti besi rel. seingat aku masih ada ruang puisi malam tadi. sebelum aku terpaksa mengunci waktu yang aku mimpi dengan semangat ku terhuyung hayang memegang bir. tangan ku dengan kertas hampir bercerai. hanya fikiran ku di acak acak,di hujani, di terajang, di mampus kan oleh kata kata oleh kerja kerja. tiada lagi kata kata jatuh ke dasar lautan fikiran. yang kadang menjadi che guavara kecil untuk pemberontakan rutin yang bosan. kadang ia menjadi sedated untuk hari jari malang. pelali paling angkuh. menjadi metafora meditasi perlahan lahan dari tembakau menjadi kabut gelora yang keluar dari jiwa. 

belum tiba masa aku menulis tentang kamu,
kamu? sebuah nama.

dan ia kembali tiba.
mungkin 
seharusnya menikmati saja waktu.
mengintai dari celah kata,
di setiap kelip mata,
terus ke celah kanta kor-nea mata mu,
yang sedikit pun tidak
berefleksi aku.